Hujan Bulan April

Senin, 15 Mei 2017

Di balik jendela yang katanya hujan, aprilku sedang basah.
Tiba-tiba kau pulang dan aku bertanya “apa hujan sesakit ini?” lalu masuklah dan akan ku ceritakan sebuah kisah, tak ada perpisahan dan jatuh cinta. 
 
Apa kabar bulan April?
Aku pergi. Tak ada kompas ataupun peta seperti penjelajah dan kau bertanya, “pilih mana? puisi di jadikan tumbal atau hujan tempat kau melampiaskan rindu berkali-kali?”
 
hujan bulan april,
mari pulang sekali lagi.

Jalan Lain

Kita tak pernah merayakan Perpisahan. Puisi dan tulisan-tulisan semacam itu adalah prosesi menghadapi hari-hari penuh luka. Tak ada tempat untuk pulang. 
Semua orang ku lihat tak punya nama. Mereka bebas perang. Tak ada batas. Tak ada apapun. Kemarin dan esok juga tak ada. 
Jika kau berkenang hadir, akan kusiapkan untukmu sebuah upacara. Bunga dan altarnya telah siap. Ku undang pula beberapa senja dan hujan sebagai pengiring paling romantis. Lalu akan ku katakan pada semesta, bagaimana meriahnya menyambut pelepasan.
Kertas putih yang belum kau baca, pelukan yang tak punya ruang atau kamar tempat kau hangatkan tubuhku. Aku mati berulang kali. Detik jam membunuhku setiap waktu. Setiap saat.
Ku lanjutkan sisa cerita ini. "Di manapun aku berada, di manapun aku bernafas -Aku adalah kamu.

Menyapa Rindu II

Selasa, 06 September 2016

Rain;
kau datang sore ini dengan apa?
setidaknya beri aku sesuatu yang bisa ku banggakan padamu
jangan seperti ini rain

aku memang merindunya tapi tidak seperti ini
kau datang seolah semuanya terlihat indah di matamu
kau basahi semua tanpa ada yang bisa lari darimu
termasuk aku rain, seseorang yang rela kau basahi dan aku tidak punya apa-apa untuk bisa melawanmu

aku menyerah, juga pada rinduku
jika ada yang bisa menamaniku pada penyerahan ini, itu adalah secangkir kopi, yang ku seduh dengan sedikit pahit agar aku tahu tahu, cinta itu tak selalu indah

Rain;
jika nanti kau pergi ke tempatnya
ucapkan salamku padanya, katakan aku rindu.

Malang 4 September 2016
Ujung Pena.

Menyapa Rindu

Sudah pagi, bumi sedang bercerah, yang lain menyerah
daun juga ilalang itu kian basah, sebagian asyik menari sang surya

ada yang tiba-tiba hidup dari mati semalam
melepas ragu menemui masa depan
suara burung camar bagai nyanyian kelam
meraba hati yang sedang gersang

sebentuk puisi hanyalah kiasan
melukis rindu di atas kertas
air mata adalah hujan
memeluk dingin berselimutkan resah

dari balik awan kota malang
seseorang menitipkan rindu pada elang
berharap ia sampai sebelum petang
lalu bersemayam di hati pemenang

Malang, 30 Agustus 2016
Ujung Pena

Diberdayakan oleh Blogger.

tentang DUNIAKU

Pulanglah,
sekali lagi

bukannya kita tak jauh-jauh soal rindu?
aku menunggumu di sini
dengan merah jingganya langit.

Cari Blog Ini